Era sekarang ini saya menyebut
sebagai era multi income. Para
profesional yang terus menerus bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan
besar belum tentu menjadi makmur di masa tua, jika tidak berusaha
memproduktifkan uangnya sejak muda. Anda yang hidup di perkotaan tentu sering
melihat bagaimana para pensiunan dari sebuah perusahaan besar rela menjual rumah
demi membiayai anaknya yang sedang kuliah.
Belum lama ini saya melihat seorang
pensiuan pegawai yang membeli rumah yang cukup besar di sebuah kampung di Jawa
Tengah. Dua tahun kemudian rumah itu dijual dengan harga murah lantaran ia
terdesak oleh kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dari biaya pensiuanannya.
Selayaknya ia dapat menjual rumahnya dengan harga yang lebih tinggi, namun
kenyataanya malah harga lebih rendah. Ini karena situasi yang mendesak sehingga
dia dalam posisi lemah.
Era multi income adalah era dimana
setiap orang boleh dan malah seharusnya memiliki lebih dari satu sumber
penghasilan. Di masa kecil, penulis hidup di lingkungan kampung yang warganya
banyak hidup dalam multi income. Hal yang sangat umum penulis jumpai adalah
pegawai pemerintah, Guru dan pegawai negeri pada umumnya memiliki sumber
penghasilan lain di luar gaji. Mereka umumnya memiliki sawah, kebun dan ternak
peliharaan atau memilik warung sembako, angkutan, atau usaha penggilingan padi.
Mereka hidup dengan nyaman dan tentram, bahkan sanggup membiayai sekolah
anak-anaknya hingga menjadi sarjana. Masa pensiuan merekapun menjadi masa bahagia. Mereka
meneruskan pengembangan lahan pertanian plus kegiatan sosial.
Simak pelajaran dari salah satu
inspirator entrepreneur dunia Robert T Kiyosaki. Ia bilang, penghasilan itu ada
dua, yaitu penghasilan aktif (active
income) dan penghasilan pasif (passive
income). Para pegawai di kampung saya telah mengembangkan penghasilannya
yang semula hanya active income (gaji
sebagai pegawai) kemudian dikembangkan ke passive
income (bisnis dan investasi pertanian, membuat warung dan atau yang lainnya).
Di Jakarta penulis melihat yang kejadian
sebaliknya. Banyak orang bekerja keras banting tulang untuk berkarir meraih
posisi setinggi-tingginya. Mereka sangat percaya bahwa pekerjaan harus dilakukan secara profesional,
dalam arti unsur sosial boleh sedikit diabaikan. Mereka bekerja keras dengan
satu fokus yakni meningkatkan gaji. Kenyataannya semakin tinggi gajinya,
semakin bernafsu untuk hidup lebih mewah, karena semakin tinggi jabatan semakin
tinggi tuntutan biaya konsumtifnya. Tak heran jika semakin tinggi gajinya,
kartu kreditnya makin banyak dan hutangnya pun semakin tak terkendali.
Hutangnya itu adalah hutang konsumtif, yang sangat mereportkan di masa pensiunnya
kelak.
Padahal di era sekarang semakin hari PHK
menjadi hal yang semakin biasa. Situasi ini menuntut banyak kaum profesional
untuk mengkaji ulang cara-cara mengolah rejeki yang berasal dari gaji alias
active income. Apabila ajaran menjadi ”profesional” mengajak semua orang untuk
fokus pada satu penghasilan yang besar, era multi income mengajak para pegawai
untuk tetap bekerja profesional, sedangkan gajinya yang terus meningkat harus
diolah lagi menjadi sumber penghasilan baru. Penghasilan banyak sumber (multi income) sudah dilaksanakan dengan
baik oleh orang tua kita puluhan tahun lalu, kini perlu dihidupkan lagi dengan
cara yang lebih cerdas dengan situasi yang berbeda. Multi income bukan hanya penting bagi pegawai
melainkan juga bagi orang yang sudah 100% menjadi entrepreneur. Anda yang punya
satu toko, kembangkanlah toko anda menjadi beberapa toko. Kelak anda akan
menginginkan pengembangan ke jenis bisnis yang lainnya. Itulah multi income.
Itu semua bisa dilakukan tanpa perlu
melakukan hal-hal gila. Jalani saja dengan perasaan riang gembira,
sebagaimana hidup normal. Jadilah ini sebagai kegiatan biasa. Jika sekali waktu rugi, anggap saja ongkos belajar. Perhatikan apa yang terjadi kelak. Anda akan
mengatakan ”luar biasa!”.
(Bambang Suharno)
No comments:
Post a Comment