Saturday, March 4, 2017

Mental Produktif, Mental Multi Income

Era sekarang ini saya menyebut sebagai era multi income. Para profesional yang terus menerus bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan besar belum tentu menjadi makmur di masa tua, jika tidak berusaha memproduktifkan uangnya sejak muda. Anda yang hidup di perkotaan tentu sering melihat bagaimana para pensiunan dari sebuah perusahaan besar rela menjual rumah demi membiayai anaknya yang sedang kuliah.

Belum lama ini saya melihat seorang pensiuan pegawai yang membeli rumah yang cukup besar di sebuah kampung di Jawa Tengah. Dua tahun kemudian rumah itu dijual dengan harga murah lantaran ia terdesak oleh kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dari biaya pensiuanannya. Selayaknya ia dapat menjual rumahnya dengan harga yang lebih tinggi, namun kenyataanya malah harga lebih rendah. Ini karena situasi yang mendesak sehingga dia dalam posisi lemah.


Era multi income adalah era dimana setiap orang boleh dan malah seharusnya memiliki lebih dari satu sumber penghasilan. Di masa kecil, penulis hidup di lingkungan kampung yang warganya banyak hidup dalam multi income. Hal yang sangat umum penulis jumpai adalah pegawai pemerintah, Guru dan pegawai negeri pada umumnya memiliki sumber penghasilan lain di luar gaji. Mereka umumnya memiliki sawah, kebun dan ternak peliharaan atau memilik warung sembako, angkutan, atau usaha penggilingan padi. Mereka hidup dengan nyaman dan tentram, bahkan sanggup membiayai sekolah anak-anaknya hingga menjadi sarjana. Masa pensiuan merekapun menjadi masa bahagia. Mereka meneruskan pengembangan lahan pertanian plus kegiatan sosial.

Simak pelajaran dari salah satu inspirator entrepreneur dunia Robert T Kiyosaki. Ia bilang, penghasilan itu ada dua, yaitu penghasilan aktif (active income) dan penghasilan pasif (passive income). Para pegawai di kampung saya telah mengembangkan penghasilannya yang semula hanya active income (gaji sebagai pegawai) kemudian dikembangkan ke passive income (bisnis dan investasi pertanian, membuat warung dan atau yang lainnya).

Di Jakarta penulis melihat yang kejadian sebaliknya. Banyak orang bekerja keras banting tulang untuk berkarir meraih posisi setinggi-tingginya. Mereka sangat percaya bahwa pekerjaan harus dilakukan secara profesional, dalam arti unsur sosial boleh sedikit diabaikan. Mereka bekerja keras dengan satu fokus yakni meningkatkan gaji. Kenyataannya semakin tinggi gajinya, semakin bernafsu untuk hidup lebih mewah, karena semakin tinggi jabatan semakin tinggi tuntutan biaya konsumtifnya. Tak heran jika semakin tinggi gajinya, kartu kreditnya makin banyak dan hutangnya pun semakin tak terkendali. Hutangnya itu adalah hutang konsumtif, yang sangat mereportkan di masa pensiunnya kelak.

Padahal di era sekarang semakin hari PHK menjadi hal yang semakin biasa. Situasi ini menuntut banyak kaum profesional untuk mengkaji ulang cara-cara mengolah rejeki yang berasal dari gaji alias active income. Apabila ajaran menjadi ”profesional” mengajak semua orang untuk fokus pada satu penghasilan yang besar, era multi income mengajak para pegawai untuk tetap bekerja profesional, sedangkan gajinya yang terus meningkat harus diolah lagi menjadi sumber penghasilan baru. Penghasilan banyak sumber (multi income) sudah dilaksanakan dengan baik oleh orang tua kita puluhan tahun lalu, kini perlu dihidupkan lagi dengan cara yang lebih cerdas dengan situasi yang berbeda.  Multi income bukan hanya penting bagi pegawai melainkan juga bagi orang yang sudah 100% menjadi entrepreneur. Anda yang punya satu toko, kembangkanlah toko anda menjadi beberapa toko. Kelak anda akan menginginkan pengembangan ke jenis bisnis yang lainnya. Itulah multi income.

Itu semua bisa dilakukan tanpa perlu melakukan hal-hal gila. Jalani saja dengan perasaan riang gembira, sebagaimana hidup normal. Jadilah ini sebagai kegiatan biasa. Jika sekali waktu rugi, anggap saja ongkos belajar. Perhatikan apa yang terjadi kelak. Anda akan mengatakan ”luar biasa!”.

(Bambang Suharno)

No comments:

Post a Comment